Senin, 04 November 2013

Hukum Perikatan



     A. Pengertian Perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih  umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti, hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan. Atau bisa juga di definisikan sebagai suatu hubungan hukum dalam aspek harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.

     B. Definisi Hukum Menurut Para Ahli
1. Hukum perikatan menurut  Pitlo adalah,
“suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu memiliki hak (kreditur) dan pihak yang lain memiliki kewajiban (debitur) atas suatu  prestasi”.

2. Hukum perikatan menurut  Hotmann adalah,
“suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.”

3. Hukum perikatan menurut  Subekti adalah,
"Suatu hubungan hukum antara 2 pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu".

C.  Dasar Hukum  Perikatan
Tidak alasan jika tidak ada dasar. Begitu juga untuk Hukum Perikatan. Hukum Perikatan ada karena Hukum Perikatan memiliki dasar dan asas-asas yang memperkuat Hukum Perikatan.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
1.    Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2.    Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang akibat perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata. Perikatan yang timbul dari undang-undang saja yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak .
b.   Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia.
Menurut hukum terjadi karena perbuatan yang diperbolehkan (sah) dan yang bertentangan dengan hukum (tidak sah)
.
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum  dan perwakilan sukarela.
 
D.  Asas-Asas dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata, yaitu menganut 2 asas diantaranya asas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
1.   Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah (sah) bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2.   Asas konsensualisme
Asas konsensualisme, yaitu  perjanjian yang lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang  pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah :
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri, yaitu para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan setia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian, yaitu bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu, yaitu apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, harga, dan keterangan terhadap objek), Harus juga diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara pihak satu dengan lainnya.
4. Suatu sebab yang halal, yaitu isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum tanpa bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

E.  Unsur-Unsur dalam Hukum Perikatan
Unsur-unsur yang terkandung dalam hukum perikatan atau terjadinya sebuah perikatan, sebagai berikut:
1)  Unsur hubungan hukum dalam hukum perikatan
Yang dimaksud dengan unsur hubungan hukum dalam hukum perikatan adalah hubungan yang didalamnya melekat hak pada salah satu pihak dan pada pihak lainnya  melekat kewajiban. Hubungan hukum dalam hukum perikatan merupakan hubungan yang diakui dan diatur oleh hukum itu sendiri. Tentu saja antara hubungan hukum dan  hubungan sosial lainnya dalam kehidupan sehari-hari memiliki pengertian yang berbeda, oleh karena hubungan hukum juga memiliki akibat hukum apabila dilakukan pengingkaran terhadapnya.
2)   Unsur kekayaan dalam hukum perikatan
Yang dimaksud dengan unsur kekayaan dalam hukum perikatan adalah kekayaan yang dimiliki oleh salah satu atau para pihak dalam sebuah perikatan. Hukum perikatan  itu sendiri merupakan bagian dari hukum harta kekayaan dimana bagian lain dari hukum harta kekayaan  kita kenal dengan hukum benda.
3)   Unsur pihak-pihak dalam hukum perikatan
Yang dimaksud dengan unsur pihak-pihak dalam hukum perikatan adalah pihak kreditur dan pihak debitur yang memiliki hubungan hukum. Pihak-pihak tersebut dalam hukum perikatan disebut sebagai subyek perikatan.
4)   Unsur obyek hukum atau prestasi dalam hukum perikatan
Yang dimaksud dengan unsur obyek hukum atau prestasi dalam hukum perikatan adalah adanya obyek hukum atau prestasi yang diperikatkan sehingga melahirkan hubungan hukum. Dalam pasal 1234 KUH Perdata disebutkan bahwa wujud dari prestasi adalah memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.
5)   Unsur Schuld dan Unsur Haftung dalam Hukum Perikatan
Yang dimaksud dengan unsur schuld dalam hukum perikatan adalah adanya hutang debitur kepada kreditur. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur haftung dalam hukum perikatan adalah harta kekayaan yang dimiliki oleh debitur yang dipertanggungjawabkan bagi pelunasan hutang debitur.
F.   Wanprestasi
Sebelum meninjau wanprestasi, terlebih dahulu kita mengenal yang dimaksud dengan prestasi. Dalam suatu perjanjian, pihak-pihak yang bertemu saling mengungkapkan janjinya masing-masing dan mereka sepakat untuk mengikatkan diri satu sama lain dalam perikatan untuk melaksanakan sesuatu. Pelaksanaan sesuatu itu merupakan sebuah prestasi, yaitu yang dapat berupa:

  1. Menyerahkan suatu barang (penjual menyerahkan barangnya kepada pembeli dan pembeli menyerahkan uangnya kepada penjual).
  2. Berbuat sesuatu (karyawan melaksanakan pekerjaan dan perusahaan membayar upahnya).
  3. Tidak berbuat sesuatu (karyawan tidak bekerja di tempat lain selain di perusahaan tempatnya sekarang bekerja). 

Jika debitur tidak melaksanakan prestasi-prestasi tersebut yang merupakan kewajibannya, maka perjanjian itu dapat dikatakan cacat atau katakanlah prestasi yang buruk. Wanprestasi merupakan suatu prestasi yang buruk, yaitu para pihak tidak melaksanakan kewajibannya sesuai isi perjanjian. Wanprestasi dapat terjadi baik karena kelalaian maupun kesengajaan.

Wanprestasi seorang debitur yang lalai terhadap janjinya dapat berupa:

  1. Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
  2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuasi dengan janjinya.
  3. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tapi terlambat.
  4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

     Jika dalam perjanjian tidak disebutkan kapan suatu hak dan kewajiban harus dilaksanakan, maka kesulitan menentukan waktu terjadinya wanprestasi akan ditemukan dalam bentuk prestasi “menyerahkan barang” atau “melaksanan suatu perbuatan”. Di sini tidak jelas kapan suatu perbuatan itu harus dilakasanakan, atau suatu barang itu harus diserahkan. Untuk keadaan semacam ini, menurut hukum perdata, penentuan wanprestasi didasarkan pada surat peringatan dari debitur kepada kreditur  yang biasanya dalam bentuk somasi (teguran). Dalam peringatan itu kreditur meminta kepada debitur agar melaksanakan kewajibannya pada suatu waktu tertentu yang telah ditentukan oleh kreditur sendiri dalamsurat peringatannya. Dengan lewatnya jangka waktu seperti yang dimaksud dalam suratperingatan, sementara debitur belum melakasanakan kewajibannya, maka pada saat itulah dapat dikatakan telah terjadi wanprestasi.
Debitur yang wanprestasi kepadanya dapat dijatuhkan sanksi, yaitu berupa membayar kerugian yang dialami kreditur, pembatalan perjanjian, peralihan resiko, dan membayar biaya perkara bila sampai diperkarakan secara hukum di pengadilan. 
Wanprestasi membawa akibat yang merugikan bagi debitur karenasejak saat itu debitur harus :

  1. Mengganti Kerugian.
  2. Benda yang dijadikan objek dari perikatan sejak saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur.
  3. Jika perikatan itu timbul dari perjanjian yang timbal balik, kreditur dapat meminta pembatalan (pemutusan) perjanjian. Dalam hal debitur melakukan wanprestasi maka kreditur dapat menuntut salah satu dari lima kemungkinan sebagai berikut :

a.    Dapat menuntut pembatalan/pemutusan perjanjian.
b.    Dapat menuntut pemenuhan perjanjian.
c.    Dapat menuntut penggantian kerugian.
d.    Dapat menuntut pembatalan dan penggantian kerugian.
e.    Dapat menuntut pemenuhan dan pengganti kerugian.

G.  Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut:
1. Pembaharuan utang (Novasi)
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Macam-macam novasi yaitu :
1)      Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2)      Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.

2. Perjumpaan utang (Kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya, si A berhutang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) kepada si B dan si B mempunyai hutang sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah) kepada si A, sehingga terjadi kompensasi antara mereka yang menyebabkan si A hanya berhutang Rp.5.000,- (lima ribu rupiah) kepada si B. 

3. Subrogasi
 Subrogasi adalah penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga. Penggantian itu terjadi dengan pembayaran yang diperjanjikan ataupun karena ditetapkan oleh undang-undang. Misalnya, apabila pihak ketiga melunaskan utang seorang debitur kepada krediturnya yang asli, maka lenyaplah hubungan hukum antara debitur dengan kreditur asli.

4. Penawaran pembayaran tunai, diikuti  oleh penyimpanan  atau penitipan
 Dalam hal perikatan dapat hapus dengan penawaran pembayaran yang diikuti penyimpanan atau penitipan ini di mana debitur yang akan membayar hutangnya kepada kreditur, tetapi kreditur menolak pembayaran tersebut dan oleh debitur uang atau barang yang akan dibayarkan kepada kreditur di titipkan ke pengadilan guna dibayarkan kepada kreditur.

5.  Pembebasan utang
Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan.

6.  Musnahnya barang yang terutang
Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”atau force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

7.   Pengoperan Hutang dan Pengoperan Kontrak 
Dalam praktek selalu terjadi bahwa suatu kontrak dialihkan kepada pihak lain. Hal ini terjadi misalnya pemilik suatu perusahaan memindahkan perusahaannya kepada pihak lain dengan janji bahwa pemilik baru tersebut akan mengambil alih juga segala hak-hak dan kewajiban yang melekat pada perusahaan tersebut. 

8.  Syarat yang membatalkan
Yang dimaksud dengan syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada sejak dipenuhinya syarat itu.

9.   Percampuran Hutang
Dalam hal pencampuran hutang ini biasanya dalam hal pewarisan, dimana  debitur menjadi ahli waris si kredirur. Apabila kreditur meninggal dunia, maka hutang-hutang debitur dibayarkan oleh ahli warisnya dan menjadi lunas.
 
10.  Lewat waktu / Kedaluwarsa
 Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam lampau waktu, yaitu :
1) Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang, (acquisitive prescription).
2)  Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar